Om Svastyastu, Om Anobadrah Krtavo Yantu Visvatah — Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru

Dharmagita

BAB I

PENDAHULUAN

Keanekaragaman kebudayaan daerah merupakan aset kebudayaan nasional, karena kebudayaan nasional adalah perpaduan dari sari-sarinya kebudayaan daerah.Masing-masing daerah tentu mempunyai kebudayaan yang bermutu tinggi.Seperti halnya Bali memiliki berbagai macam seni, seperti seni musik, seni suara, seni tari, seni pahat, seni lukis.Kesenian Bali sudah terkenal sampai ke mancanegara. Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di indonesia. Untuk seni suara terdapat dua jenis yaitu seni kerawitan dan seni tembang.Di Bali juga mengenal istilah Dharmagita yang merupakan nyanyian suci umat Hindu karena di Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu.Dharma Gita juga merupakan salah satu media kesenian yang sangat menunjang pemahaman ajaran agama khususnya agama Hindu serta sebagai usaha meningkatkan kesucian rohani dan sebagai media kesenian. Maka dalam kesempatan ini penulis akan menyajikan paper mengenai dharmagita beserta contoh-contoh dari pupuh yang merupakan bagian dari Dharmagita:

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Dharma Gita

Istilah Dharma Gita berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Dharma dan Gita. Dharma artinya : kebenaran, agama atau keagamaan, sedangkan Gita berarti nyanyian atau lagu. Jadi Dharma Gita berarti suatu lagu atau nyanyian kesucian yang secara khusus dilagukan pada saat-saat pelaksanaan upacara agama hindu. Dharma Gita dapat dilakukan oleh setiap orang guna memberikan puji-pujian dan sekaligus merupakan sarana untuk memberikan puja-pujaan kepada Sang Hyang Widhi.Orang yang sering melagukan nyanyian keagamaan biasanya memilih lagu yang sesuai dengan upacara yadnya yang dipersembahkan pada saat itu.

Menurut Parmajaya ( 2007:4 ) ditanyakan bahwa seni suara dalam ungkapan seni vokal biasanya disebut dengan istilah  Dharmagita. Dharma gita merupakan merupakan salah satu  budaya Hindu yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Melalui pengucapan Weda Mantra oleh para pendeta Hindu, dan Gita dinyanyikan pada setiap pelaksanaan Upacara Keagamaan.

Menurut Warjana ( 2001:16 ) pengucapan Gita yang tepat akan dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci. Budhi nurani yang paling suci akan dapat menguasai pikiran atau manah. Manah yang kuat pasti akan dapat mengendalikan indria, serta indria yang terkendali akan dapat mengarahkan perbuatan manusia untuk selalu berpegang pada ajaran dharma atau kebenaran. Dharma Gita sebagai nyanyian ketuhanan, karena irama lagu dan variasinya akan dapat membantu umat Hindu dalam menciptakan suasana yang khusuk, hening, dan khidmat, yang dipancari sinar kesucian sesuai dengan jenis yadnya yang dilaksanakan.

Dharmagita berasal dari bahasa Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni Dharma dan Gita.Dharma artinya kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum, aturan.Sedangkan Gita artinya nyanyian/lagu.Jadi, Dharma Gita berarti suatu nyanyian kebenaran yang biasa dilantunkan saat upacara keagamaan. Dharma Gita juga diartikan sebagai suatu seni keagamaan yang menggunakan media suara atau vocal dalam agama Hindu. Di dalamnya terdapat syair-syair yang sudah di ringkas sedemikia rupa dan penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian dilantunkan dengan suara yang amat mempesona.Pelaksanaan Dharma Gita dilaksanakan pada upacara yadnya yang lagunya telah disesuaikan dengan masing-masing yadnya yang dipersembahkan.

Dharmagita merupakan salah satu media kesenian yang sangat menunjang dalam pemahaman ajaran agama dan meningkatkan kesadaran rohani. Hendaknya pembinaan kehidupan keagamaan di Indonesia dilakukan dengan mengembangkan serta memanfaatkan kesenian di masing – masing daerah, agar masyarakat lebih semarak dalam memahami agamanya.

Mengenai sejarah tembang Bali masih sulit untuk ditafsirkan.Hal ini disebabkan oleh kebiasaan lisan (oral tradisional), suatu secara belajar dari mulut ke mulut.Pada saat ini masih ada tembang yang dinotasi didalam lontar, tetapi belum cukup untuk mengungkapkan kapan tembang itu lahir di Bali.Dalam perkembanganya di Bali, sastra tembang disebut juga Dharmagita.Dharmagita berasal dari bahasa Sansakerta dan terdiri dari dua kata yakni Dharma dan Gita.Dharma artinya kebenaran/kebaikan, kewajiban, hukum, aturan.Sedangkan Gita artinya nyanyian/lagu.Jadi Dharmagita adalah nyanyian atau kidung suci keagamaan yang merupakan salah satu bagian dari sad dharma sebagai kewajiban dalam pelestarian seni budaya Hindu. Dharma Gita juga diartikan sebagai suatu seni keagamaan yang menggunakan media suara atau vocal dalam agama Hindu. Di dalamnya terdapat syair-syair yang sudah di ringkas sedemikia rupa dan penuh dengan ajaran keagamaan, kemudian dilantunkan dengan suara yang amat mempesona.Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama sebagai pencurahan perasaan bakti dan pembimbing pikiran menuju suatu kebenaran.Hal ini dikarenakan Dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, dan pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasiNya.

Dharma Gita merupakan bagian dari Panca Gita yang dibunyikan pada saat pelaksanaan yajna. Panca Gita adalah lima jenis suara atau bunyi yang mengiringi atau menunjang pelaksanaan yajna. Panca gita terdiri dari:

  1. Getaran  Mantram
  2. Suara Genta
  3. Suara Kidung
  4. Suara Gamelan
  5. Kentongan (Kulkul).

Kelima suara panca gita  memberikan vibrasi keheninga, kesucian spiritual serta  menumbuhkan imajinasi, kreativitas serta sebagai maha karya adi luhur.

  1. Manfaat Dharmagita

Dharma Gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengarnya. Usaha untuk melestarikan, mengembangkan dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu melalui dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan.

Melalui Dharma Gita seseorang dapat :

  1. Menghayati ajaran agama secara mendalam sehingga perasaan, pikiran, dan budhinya menjadi halus.
  2. Lagu-lagu keagamaan yang dinyayikan dalam Dharma Gita dapat menggetarkan alam rasa dan meningkatkan Sradha Bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa serta prabhava-Nya

Sehubungan dengan pelaksanaan Dharmagita dalam upacara agama Hindu, renungkanlah mantra berikut:

“Gayo sa sasravartani“ (Sama Weda 8.29).

Artinya;

Kami menyanyikan mantra-mantra Samaweda dalam ribuan cara.

“Ubhe vacau vaditi samaga iva, gayatram ca traistubham canu rajati”

(Regweda II.43.1).

Artinya;

Burung menyanyi dalam nada-nada seperti seorang pelafal Sama Weda, yang mengindungkan mantra dalam irama Gayatri dan Tristubh.

  1. Mengendalikan diri dari pengaruh Adharma.
  2. Melestarikan Budaya.
  3. Sebagai penunjang pelaksanaan yadnya.
  4. Sebagai alat komunikasi, yaitu Komunikasi Bagi seorang Bhakta untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Brahman dapat dilakukan dengan menggunakan “Kirtana” yaitu melagukan/menyanyikan lagu – lagu Ketuhanan secara terus menerus.
  • Bagian-bagian Dharmagita

Untuk mempermudah mempelajari dan menghayati Dharmagita, serta penerapannya dalam masyarakat. Maka Dharmagita dikelompokkan pada bagian-bagian dibawah ini:

  1. Sekar Rare (Gending Rare)

Seiring dengan perjalanan waktu, Lagu Bali terus berkembang dengan grafik yang sangat tidak stabil karena terpengaruh oleh situasi negara yang tidak menentu yang sangat menyulitkan para seniman lagu Bali untuk membuat sebuah karya. Pada dasarnya, Bali tidak hanya kaya akan aneka ragam tarian atau upacara-upacara adatnya yang begitu kompleks. Namun juga kaya akan lagu-lagu atau tembang tradisonalnya yang kelak akan tergerus zaman. Untuk itulah disini kita memiliki peran untuk melestarikannya.Berbagai jenis tembang yang dimiliki oleh Bali mempunyai struktur serta fungsi yang berbeda-beda.Masyarakat Bali membedakan seni tembang ini menjadi empat kelompok, yakni gegendingan, sekar alit, sekar madya, dan sekar agung. Pada kesempatan ini, saya akan membahas salah satu dari empat kelompok ini yaitu gegendingan.

Gending Rare atau Sekar Rare mencakup berbagai jenis lagu-lagu anak-anak yang bernuansa permainan.Jenis tembang ini pada umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilagukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira.

Adapun contoh Gending yang termasuk Sekar Rare yaitu:

  1. Juru Pencar

Juru pencar juru pencar

Mai jalan mencar ngejuk ebe

Be gede gede

Be gede gede

Di sawana ajaka liu

  1. Meong-meong

Meong meong alih ja bikule

Bikul gede gede

Buin mokoh mokoh

Kereng pesan ngerusuhin

Juk meng… Juk kul..

 

  1. Sekar Alit

Sekar alit juga disebut macapat. Macapat dalam bahasa Jawa berarti suatu sistem untuk membaca syair tembang atas empat-empat suku kata.Di Bali tembang macapat sering disebut dengan pupuh yang berarti rangkaian tembang (Budiyasa dan Purnawan, 1998: 8). Pupuh di Bali dikenal sepuluh buah sebagai macapat asli, seperti Pupuh Sinom, Pupuh Semarandana, Pupuh Pangkur, Pupuh Pucung, Pupuh Ginada, Pupuh Ginanti, Pupuh Durma, Pupuh Maskumambang, Pupuh Dandanggula,  dan Pupuh Mijil.Pupuh yang dirangkai dalam sebuah cerita disebut geguritan. Akan tetapi, selanjutnya muncul beberapa pupuh baru yang berasal dari kidung, seperti Jurudemung (Demung), Gambuh, Magatruh, Tikus Kapanting, dan Adri. Belakangan muncul beberapa geguritan yang memiliki beberapa tema, yaitu Geguritan Tamtam, Geguritan Basur, Geguritan Ni Sumala, Geguritan Pakang Raras, Geguritan Durma, Geguritan Sucita, dan sebagainya.

Pupuh juga memiliki beberapa variasi yang beranekaragam, sesuai dengan alur cerita dalam geguritan, misalnya pupuh Sinom memiliki beberapa variasi yaitu pupuh Sinom Uug Payangan (ditembangkan dalam Geguritan Uug Payangan); pupuh Ginada memiliki variasi pupuh Ginada Basur (ditembangkan dalam Geguritan Basur); pupuh Ginada Jayaprana (ditembangkan dalam Geguritan Jayaprana); dan beberapa variasi pupuh yang lain. Selain itu, pupuh sebagai rangkaian tembang memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter pupuhtersebut akan tampak ketika dilantunkan dengan ekspresi, berupa rasa romantis, sedih, senang, berwibawa, dan sebagainya.

Dalam menyajikan tembang macapat atau pupuh pada dasarnya dapat ditempuh dengan dua cara yakni sebagai berikut:

  1. Sistem paca priring, yaitu sistem membaca atau menyajikan nada-nada pokok tembang satu demi satu bagi orang yang baru mulai belajar menembang.
  2. Sistem ngwilet atau gregel, yaitu sistem dalam menyanyikan tembang sudah memakai hiasan atau variasi cengkok, anak nada, dan pemakaian tempo lebih panjang. Cara ini dapat melahirkan gaya tiap penyanyi, namun masih tetap pada tema lagu atau tembang.

Berikut adalah contoh pupuh atau tembang macepat yang menceritakan tentang kisah “Kebo iwa” yang dituangkan dalam bentuk tembang macepat atau pupuh:

  1. Pupuh Dandang Gula

Tembang:

  1. Titiang jatma lintang pangkah gati
  2. Nulad Sang meraga ririh wikan
  3. Pascad ring kanda sastrane
  4. Mangda wenten anggen suluh
  5. Olih karma sareng sami
  6. Kebo iwa katembangang
  7. Patih Bali teguh kukuh
  8. Magajegang Bali Duipa
  9. Panganjali Swastyastu riin katur
  10. Kirang langsung sinampura

Artos:

  1. Inggih, titian pinaka damuh sane pangkah wiakti
  2. Titiang pangkah nulad sang meraga waged ririh
  3. Inngih punika sang waged ring sajeroning kandane
  4. Tetuek titian nulad ida mangda wenten katur anggen suluh
  5. Punika katur majeng ring ida dane karma sami
  6. Punika mawinan titiang mangkin ngaturang gita mamurda “Kebo Iwa”
  7. Dane kaloktah pinaka patih Bali sane sakti
  8. Dane sane ngajegang jagat Baline duka riin
  9. Sadurunge katur, kawitin titiang dumun antuk pangastungkara, Om Swastyastu
  10. Prade wenten atur tan manut titiang nunas sinampura

 

  1. Pupuh Sinom

Tembang:

  1. Ring jagat Blahbatuh carita
  2. Irika Ki Karang Buncing
  3. Maka mekel ngenter jagat
  4. Madue oka asiki
  5. Kebo Iwa mapepasih
  6. Jemet nulung aji ibu
  7. Uleng m’lajah kanda sastra
  8. Asih kumasih ring kanti
  9. Aji ibu
  10. Ledang maputra suputra

Artos:

  1. Inggih, ceritayang titiang ring Jagat Blahbatuh duke riin
  2. Ring jagat Blahbatuh wenten kabawos dane Ki Karang Buncing
  3. Dane karang Buncing maka mekel irika duk riin
  4. Dane Karang Buncing madue putra wantah asiki kemanten
  5. Parab putran dane inggih punika “Ki Kebo Iwa”
  6. Ki Kebo Iwa jemet pisan nulungin aji miwah biang ipin magarapan
  7. Tur dane Kebo Iwa uleng pisan melajah kanda sastra
  8. Majeng ring kantine dane Kebo Iwa asih kumasih
  9. Punika mawinan aji miwah ibun nyane,
  10. Tan sipi saying nyane ring putrane sadu dharma
  1. Pupuh Maskumambang

Tembang:

  1. Kebo Iwa, Sampun truna sane mangkin
  2. Jagat terak sayah
  3. Ngrereh ajeng meweh gati
  4. Ibu aji nandang lara

Artos:

  1. Kacerita dane Kebo Iwa sane mangkin sampun munggah taruna
  2. Lacuran pisan daweg punika, jagate katiben terak
  3. Mawinan daweg punika, meweh pisan ngrereh ajeng-ajengan
  4. Punika mawinan dane Ki Karang Bungcing miwah rabine nandang kaduhkitan.
  1. Pupuh Semarandana

Tembang:

  1. Ajine raris manyawis
  2. “baat pesan keneh yayah
  3. Ngepas cening alit katon
  4. Mangruruh pangupa jiwa
  5. Yen keto keneh idewa
  6. Lautang cening lumaku
  7. Mogi cening maan merta”

Artos:

  1. Wawu asapunika Ki Kebo Iwa,raris gelis nyawis
  2. “Cening Kebo Iwa, okan aji saying, sujatine baat pesan keneh ajine jani
  3. Aji merasa baat ngelepas ukudan cening, sawireh cening kari alit
  4. Baat keneh aji ngelepas cening cenik ngalih pangupa jiwa
  5. Sakewala yan keto saja buka keneh ceninge
  6. Nah, lautang cening majalan ngalih pangupa jiwa
  7. Dumogi Ida Shang Hyang Kawi sueca tekening cening mapaica merta”.
  8. Pupuh Mijil

Tembang:

  1. Maha Prabu
  2. Mawecana Raris
  3. “Nira liwat angob
  4. Ngaksi kawagedan pamane
  5. Jani paman anggon nira patih
  6. Ngabih linggih mami
  7. Bali apang kukuh

Artos:

  1. Ida Sang Prabu Bedahulu
  2. Raris ida mawecana ring Kebo Iwa, manira angob pesan
  3. Uduh, Paman Kebo Iwa, manira angob pesan
  4. Nira angob ngaksi kawegedan pamane ngae wewangunan, tur sakti mawisesa
  5. “Nira Liwat angob ngaksi kawagedan pamanne ngae wewangunan, tur sakti mawisesa
  6. Ento krana ane jani paman adengang nira maka Patih Agung
  7. Paman ngabihlinggih nira ngenter jagat Bali Dwipa
  8. Apanga jagat Baline prasida ajeg kukuh werdi kayang ring wekas”.
  1. Pupuh Ginada

Tembang:

  1. Raris dane Kebo Iwa
  2. Ngabih prabu maka patih
  3. Satia bakti maring ida
  4. Kerta raharja negantun
  5. Kaloktah maring buana
  6. Ajeg werdi
  7. Jagat Bali tan papada

Artos:

  1. Ngawit punika raris dane Kebo Iwa ngabih linggih Ida Sang Prabu Bedahulu
  2. Dane kicen linggih maka patih agung, masanding ring pepatih ida sane tiosan
  3. Dane Kebo Iwa ngabih linggih sang prabu maka patih, satia bakti ring ida sang prabu
  4. Punika mawinan raris jagat Bali sayan kerta tur trepti
  5. Tur ngawit punika jagat Bali kaloktah raris ring buana sami
  6. Ajeg kukuh wiakti
  7. Jagate ring Bali ngawit punika tur keajeganne nenten wenten nyaman pada.
  1. Pupuh Ginanti

Tembang:

  1. Patih Gajah mada lantur
  2. Ngeka nayasane singid
  3. Raris dane rauh ngraga
  4. Tangkil ring sang prabu Bali
  5. Gusti titiang meled pisan
  6. Ngiket kanti sareng gusti

Artos:

  1. Sane mangkin kacarita pidabdab dane Maha Patih Gjah Mada selanturnyane
  2. Raris dane patih Gajah Mada ngeka naya sane pingit gati
  3. Carita sane mangkin dane Patih Gajah Mada sampun rauh ngraka ka Bali
  4. Ring Bali raris dane tangkil ring Ida Prabu Bedahulu
  5. “Ratu Sang Prabu, mangkin titiang ngaturang pikarsan gusti titiang Ida Prabu Hyam Wuruk
  6. Ida Sang Prabu Hayam Wuruk meled pisan ngiket kanti sareng palungguh Ratu
  1. Pupuh Pangkur

Tembang:

  1. Gajah Mada nitah panjak
  2. “ Lautang urug semere ane jani
  3. Panjak raris ngambil batu
  4. Ring semere kasabatang
  5. Dane Kebo Iwa kaurug batu
  6. Nanging dane akas pisan
  7. Akedik nenten punapi

Artos:

  1. Santukan sampun dalem semere, raris Ki Gajah Mada nitah panjake sami
  2. “ Ih, panjak gelah mekejang, ane jani lautang urug semere”
  3. Panjake ngiring titah, raris ngambil batu sane ageng-ageng
  4. Batune punika raris kasabatang ring semere
  5. Raris Ki Kebo Iwa kaurug antuk batu ageng-ageng akeh gati
  6. Sakewanten Ki Kebo Iwa anggan dane akas gati
  7. Punika mawinan akedik anggan dane nenten kaset keni batu
  8. Pupuh Durma

Tembang:

  1. Kebo Iwa nenten makirig atampak
  2. Pangrejeke katangkepin
  3. Panjake kuciwa
  4. Akeh mangemasin padem
  5. Ne murip gelis malaib
  6. Ki Gajah Mada
  7. Metu kayune ajerih

Artos:

  1. Diastun karejek panjak payiuan, akedik Kebo Iwa nenten makirig
  2. Raris dane nangsekang nangkepin pangrejeke
  3. Ring sampune suba mayuda, kaciwa raris panjake sane ngrejek dane
  4. Tur akeh panjake sane ngemasin padem
  5. Ngaksi timpal-timpal ipun akeh padem, raris panjake sane murip malaib mrediding
  6. Gajah Mada ngaksi indik punika
  7. Jeg metu ajerih kayun dane, ten purun matanding jurit
  1. Pupuh Pucung

Tembang:

  1. Yadiastun
  2. Bali suba kalah numgkul
  3. Jiwan Bali Duipa
  4. Tusing sida gisi beli
  5. Nglimbak terus
  6. Maka jiwan nusantara

Artos:

  1. Kene nyen Beli Gajah Mada
  2. Yadiastun gumi Baline prasida kalahang beli
  3. Sakewale jiwa pramanan gumi Baline apang beli nawang
  4. Nah, jiwa pramanan Baline ento tusing prasida ngambel Beli
  5. Jiwa praman Bali ngimbak terus
  6. Ento pinaka jiwa pramanan jagat Nusantarane lantur kayang ring wekas
  1. Sekar Madya

Sekar Madya yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam prosesi upacara, baik upacara adat maupun agama.Kelompok tembang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa tengahan, yaitu seperti bahasa yang dipergunakan di dalam lontar/cerita Panji atau Malat, dan tidak terikat oleh Guru Lagu maupun Padalingsa (seperti pada Sekar Alit atau pupuh). Di dalamnya adalah pembagian-pembagian pada tubuh tembang tersebut, diantaranya :

  1. Pangawit = yang merupakan bagian pembukaan
  2. Pangawak = yang merupakan bagian yang pendek
  3. Panama = merupakan bagian yang panjang
  4. Pangawak = bagian utama dari tembang tersebut

Kidung diduga datang dari Jawa abad XVI sampai XIX akan tetapi teks kidung ini kemudian kebanyakan ditulis di Bali. Hal ini bisa dilihat dari struktur komposisinya yang terbukti dengan masuknya ide-ide yang terdiri dari Pangawit, Panama dan Pangawak yang merupakan istilah-istilah yang tidak asing lagi dalam tetabuhan Bali.

Di Bali kidung-kidung selalu dilakukan dan dimainkan bersama-sama dengan instrumen. Lagu-lagu kidung ini ditulis dalam lontar tabuh-tabuh Gambang dan oleh karena itulah laras dan namanya banyak sama dengan apa yang ada dalam penggambangan, menggunakan laras pelog Saih Pitu (Pelog 7 nada) yang terdiri dari 5 nada pokok dan 2 nada pemaro/ tengahan.

Adapun fungsi-fungsi kidung yaitu:

  1. Pada upacara Dewa Yadnya di tembangkan kidung:
  2. Tatkala nuntun Ida Bhatara: Kawitan Wargasari, Wargasari;
  3. Ttatkala muspa: Mredu Komala, Totaka;
  4. Tatkala nunas tirta: wargasari;
  5. Tatkala nyineb: warga sirang.
  6. Untuk Rsi Yadnya digunakan: Rsi Bojana: Wilet Mayura, Bramara Sangupati, Palu Gangsa.

Untuk Diksa digunakan Rara Wangi.

  1. Untuk Manusa Yadnya:
  2. Upacara Raja Swala: Demung sawit,
  3. Upacara metatah: Kawitan Tantri, Demung Sawit;
  4. Upacara mapetik: Malat Rasmi,
  5. Upacara pawiwahan: Tunjung Biru.
  1. Untuk upacara Pitra Yadnya:
  2. Nedunang/ nyiramang layon: Sewana Girisa, Bala Ugu.
  3. Untuk memargi ke setra: Indra Wangsa.
  4. Untuk mengurug kuburan (gegumuk): Adri.
  5. Untuk Ngeseng sawa: Praharsini;
  6. Untuk Ngereka abu: Aji Kembang;
  7. Untuk nganyut abu ke segara: Sikarini, Asti;
  8. Untuk Nyekah (Atma Wedana): Wirat Kalengengan.
  9. Untuk Bhuta Yadnya: Pupuh Jerum, Alis-alis Ijo, Swaran Kumbang.
  10. Untuk upacara pelantikan pejabat: Perigel.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Kuno (Kawi), dengan tulisan huruf Bali. Tulisan ini bukan tulisan Bali biasa tetapi sudah di modifikasi untuk keperluan menetapkan irama dan tekanan (stressing), terutama pada kakawin: apada, wrtta matra, guru laghu, gana matra, canda karana, guru bhasa, guru lambuk dan purwa kanti.

Para penyanyi sebaiknya tidak menggunakan sound system yang keras, karena kidung dilakukan bersama dengan suara yang sayup-sayup mengiringi puja-mantra, dari pemimpin upacara. Jangan sampai suara kidung demikian keras, sehingga suara gentha Sulinggih tidak terdengar. Mestinya para pelantun kidung berada dekat dengan Sulinggih sehingga mengetahui apa yang sedang dilakukan Sulinggih, lalu memilih kidung apa yang tepat. Jangan sampai Sulinggihnya muput caru, lalu kidungnya wargasari.

Beberapa contoh kidung untuk upacara-upacara keagamaan dalam umat Hindu :

  1. Kawitan Wargasari ( Pengawit dalam upacara Dewa Yadnya )

Purwakaning angripta rumning wana ukir.

Kahadang labuh.Kartika penedenging sari.

Angayon tangguli ketur.Angringring jangga mure.

Artinya :

Purwaka (pada permulaan) Ning (nya), Angripta (menggugah) Rum (keindahan). Ning (di)Wana (hutan) Ukir (pegunungan), Kahadang (ketika) Labuh kartika (awal musim hujan sasih kapat) Panedenging Sari (sedang rimbunnya berbunga) Angayon (pohon) Tangguli Ketur (nama sejenis akasia yang bunganya berwarna lembayung)Angringring (berbentuk tirai) Jangga (bunga gadung-pun) Mure (sedang mekar).

  1. Kidung Wargasari ( untuk upacara Dewa Yadnya )

Ida Ratu saking luhur

kawula nunas lugrane

mangda sampun titiang tandruh

mangayat Bhatara mangkin

titiang ngaturang pejati

canang suci lan daksina

sarwa sampun puput

pratingkahing saji

Bisa dilihat, Kidung Wargasari ini adalah kidung pemujaan di mana para pemujanya tengah menghaturkan persembahan seperti pejati, daksina, canang… dengan harapan agar para Bhatara menerima persembahan mereka.

  1. Kidung Wilet Mayura ( untuk upacara Rsi Yadnya )

Sarwi angatanging sarwa sinom,

Sarwi anangis ring luur,

Pangrikning sundari ampruang,

Sriokning cemara angelur,

Kasangga den lwahing warih,

Sakwehing wong amemaluk,

Taluktak lan jurang,

Swarannya anarung er talinnya kumeroncong,

Tibeng parangan.

  1. Kidung Tantri (untuk upacara Manusa Yadnya )

Tuhu ndatan pasiring

Yadin sasoring akasa

Ring guna widya wicaksana

Byakta Sarasaswati surasmi Hyang Giriwadu

Anupama nurageng rat

Sang apatra Dyah Tantri

Tumuli prapta marekeng ibu.

  1. Kidung Aji Kembang ( untuk upacara Pitra Yadnya )

Ring purwa tunjunge putih,

Hyang Iswara Dewatanya,

Ring pepusuh pranahira,

Alinggih sira kalihan,

Pantes ta kembange petak,

Ring temba lamun dumadi,

Suka sugih tur rahayu,

Dana punia stiti bhakti.

  1. Kidung Alis-Alis Ijo ( untuk upacara Bhuta Yadnya )

Iring-iring silak-siluk,

Awanikang munggah,

Mihate di dukuh rame,

Ingambel-ambelan watu,

Cara-caranya abra murub,

Kang katinghalan asri,

Tahen kencana ngrembun ronnya nuntun haneng lemah,

Parijata mangreronce,

Wunga tambang wunga warih,

Ajajar lan andong ijo,

Sulasih miana ijo,

Kasuluhan bayem luhur,

Melok-molok hana bang hana putih,

Angraras tinon.

  1. Sekar Agung

Sekar Agung juga disebut dengan kekawin, selain itu dinamakan pula wirama.Lagu pujian jenis ini merupakan lagu keagamaan yang dinyayikan dengan memakai guru lagu.Dalam melagukan kekawin ini biasanya mengikuti aturan tertentu yaitu “Mantra” atau “Mentrum”.Aturan mantra yang dimaksud adalah guru lagunya.Yang dimaksud guru lagu adalah adanya suara berat dan panjang atau ringan dan lambat dalam tembang kekawin. Selain itu ada pula aturan kekawin yaitu “Wreta”yaitu adanya suku kata kecap yang membentuk empat baris atau tiga baris menjadi satu bait atau “ada” dalam kekawin.

Adapun lagu-lagu pujaan yang tergolong Sekar Agung antara lain adalah:

  1. Wirama Sardula Wikridita
  2. Wirama Kalengengan
  3. Wirama Ragakusuma
  4. Wirama Basantatilaka
  5. Wirama Sikarini
  6. Wirama Girisa
  7. Wirama Sragdhara
  8. Wirama Praharsini
  9. Wirama Suwadana
  10. Wirama Merdukomala
  11. Wirama Totaka
  12. Wirama Mandamalon atau Rajani
  13. Wirama Indrawangsa
  14. Wirama Mrtatodaka
  15. Wirama Jaloddhatagati
  16. Wirama Kilayumanedheng.

Contoh:

  1. Wirama Saronca / Arya

Ha – na si – ra ra –tu di- bya re – ngen

Pra – cas – ta ring rat mu – suh ni – ra – pra – na- ta

Ja – ya pan – di – ta ring – a – ji ka –beh

Sang da – ca ra – than na – ma ta – mo – li

  1. Wirama Indrawangsa

Mamwit narendrātmaja ring tapo wana,

Mānganjalȋ yyargra ning indra parwata,

Tan wismerti sangkanikāng ayun teka,

Swābhāwa sang sajna rakwa mangkana

Artinya :

Mepamit ida dewaagung putra saking alas petapan,

Raris ngaturang sembah marep ka pucak gunung indrakila punika,

Nenten lali ida ring panangkan kerahayuanne rawuh,

Swabawan ida sang sadhu wiyakti asapunika.

  1. Wirama Rinjani

 

  1. Wirama Sekarini

Pasalin 36, Bait 11 (Sikarini Wirama= 0 – -/- – -/000/00-/- 00/00)

Ndaojar sang prapta prabhu liatisembahni nakula

Rapuh weragya tenpejaharumenge reh sang angulun

Ridentat mahyun maperang makalagang panhu tenaya

Apan sampun senopati aji linging lokha subhaga

Artinya :

Inggih  munggwing daging atur ida sng wawu rauh,..inggih Uwa agung aksi puniki           sembah bhaktin titian I nakula.

Dedek manah titiange med maurip memanah jaga padem sesampune titiang mirage            indik ratu sang prabhu.

Riantukan Uwa agung pacang mayudha magutin sang pandawa.

Dawning Uwa agung sampun kabiseka dados senopati sapunika ucap ucap jagate  kawistara.

  1. Sloka

Sloka adalah mantra yang digubah dalam bentuk syair-syair yang setiap satu bait sloka terdiri dari empat baris. Adapun maksu digubahnya mantra-mantra itu dalam bentuk sloka / syair adalah untu mempermudah mengingat dan memahami isinya.

Contoh Sloka :

  1. Yadnya sisthasinah santo

Muchyante sarva kilbihaih

Bhujante te tvagnam papa

Ye pachanty atma karanat

Artinya :

Yang baik makan setelah upacara bhakti

Akan terlepas dari segala dosa

Tetapi menyediakan makanan lezat hanya untuk dirinya sendiri

Mereka ini sesungguhnya makan dosa

  1. Sa paryagac chukram akayam

Awranam asnawiram sudham

Apapa widham kawir manissi

Pribhuh swayambhur yatha

Tatho rtham wyadadhac

Chawatibhyah samabhyah                 

( Bhagawadgita, III.13 )

 

Artinya :

Hendaknya diketahui bahwa ia Maha Kuasa

Tak bertubuh, tak teraba, tak berurat nadi, suci, tak

Terkena penderitaan, maha tahu, ahli pikir, Maha Besar

Ada tanpa diadakan, pemberi rahmat atas segala keinginan

Sejak jaman dahulu kala

( Isa Upanisad hal. 50 )

  1. Palawakya

Palawakya biasanya berbentuk prosa berbahasa Jawa Kuno dan sering diselingi Bahasa sansekerta. Teknis pembacaan Palawakya biasanya pengambilan suara sama dengan kekawin. Kekawin juga memperhatikan guru lagu, namun tidak sama dengan lagu ( dalam pengertian metrum ) kekawin.

Guru pada Palawakya lebih mengacu pada intonasi bacaan. Intonasi bacaan dimaksudkan adalah oemenggalan bacaan sehingga teks yang dibaca mudah ditangkap maknanya.

Contoh Palawakya :

Paramarthanya pengepenge ta pw aka temwaniking si dadi wang

Durlabhawiya ta, saksat handaning mara ring swarga ika

Sanimittaning tan iba muwahta pwa damalakena

Artinya :

Tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya kesempatan lahir menjadi manusia

Ini sunggu sulit diperoleh laksana tangga menuju sorga

Segala apa yang menyebabkan tidak akan jatuh lagi itu hendaknya supaya dipegang

Tinggalkan komentar